Thursday, October 28, 2010

DEFINISI ILLEGAL LOGGING



Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak jaman penjajahan Belanda, pencurian kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan oleh Belanda . Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa.

Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara ornop lokal, ornop international dan masyarakat. Pada tahun 2000, Telapak menyelenggarakan lokakarya untuk menemukan definisi tersebut. Disepakati pada saat itu definisi dari illegal logging adalah “Kegiatan kehutanan yang tidak mendapat ijin dan yang merusak”

Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk memprakarsai penyusunan definisi “Kayu Sah”. Melalui serangkaian pertemuan yang alot, kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu:

“Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.”

Istilah ” Illegal Logging” itu sendiri berasal dari wacana yang dibawa dari luar, dan konteks yang dimaksud dapat berbeda dengan Indonesia . Dalam bahasa Indonesia, setidaknya digunakan istilah “penebangan liar” atau “penebangan haram”. Bagaimana pun istilah ini sangat bernuansa hukum, dan seringkali batasan yang digunakan oleh pemerintah dan sektor swasta, betul-betul dalam konteks hukum an sich. Pandangan legalistik ini, membuahkan pendekatan yang legalistik pula. Hal ini dapat dilihat dari istilah-isitilah yang digunakan seperti penegakan hukum atau law enforcement.

Cara pandang yang demikian menjadi pangkal dari seluruh kerumitan hukum dan implementasi yang dilakukan kemudian. Indonesia sendiri mengalami kesulitan luar biasa untuk menyikapi illegal logging. Terdapat konflik satu sama lain antara UU Otonomi Daerah dan UU Kehutanan. Bahkan untuk peraturan yang terkait dengan kehutanan sendiri terdapat sedikitnya 500 peraturan yang saling bertolak belakang dan tumpang tindih satu sama lain.

Ketika sektor kehutanan didesentralisasikan, niat baik ini ternyata tidak menghasilkan satu peraturan perundangan yang mencukupi dan mampu menampung geliat dari desentralisasi itu sendiri. Pemerintah lokal tidak memiliki sumber keuangan yang mencukupi untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan yang memberi otoritas kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan izin 100 ha dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Harapannya, kebijakan ini bisa digunakan oleh masyarakat untuk membangun subsistence pertanian yang akan menopang penghidupan mereka, disamping sebagai kompensasi atas hilangnya lahan tenurial milik masyarakat.

Model penebangan seperti ini tidak membutuhkan kewajiban untuk melakukan reforestasi dan hanya berlaku untuk satu tahun. Pada akhirnya, sikap yang mendua dari sebuah kebijakan, tumpang tindih kebijakan itu sendiri, konflik antara peraturan ditambah kebutuhan untuk mendapatkan financial bagi pendapatan daerah telah mendorong pemerintah lokal untuk mengeluarkan perizinan pengelolaan hutan skala besar yang seringkali tumpang tindih dengan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Dengan kerumitan seperti ini, Pemerintah Pusat pun kebakaran jenggot dan mengklaim bahwa seluruh ijin resmi tersebut bertentangan dengan UU Kehutanan. Lalu, dengan kerumitan ini pula, untuk menentukan legal atau tidak legal sebuah kayu dari sebuah operasi kehutanan, hukum mana yang anda pakai?

Interpretasi hukum atas “illegal logging” pada akhirnya hanya akan terbatas pada persoalan hukum semata-mata. Untuk menentukan legalitas sebuah operasi atau kayu kayu yang dihasilkan dari operasi kehutanan tertntu, maka ia akan menjadi otoritas ‘orang-orang hukum’, yang cara pandangnya tentu saja pada nilai-nilai normatif pada hukum-hukum secara tekstual .

Istilah "illegal logging" juga seringkali dikenakan pada masalah perdagangan illegal atau penyelundupan kayu maupun produk kayu (kayu gergajian, plywood, dll). Fenomena ini dapat dilihat secara kasat mata dengan menggunakan data-data resmi antara negara pengekspor dengan negara pengimpor. Sebagai misal, pada tahun 2000, catatan pemerintah menunjukkan Indonesia tidak mengimpor sebatang kayu bulat pun ke Malaysia, sementara data di negara tersebut menunjukkan bahwa Malaysia telah mengimpor kayu bulat dari Indonesia sebesar 623.000 meter kubik. Sementara itu di Cina, angka impor kayu lebih besar 103 kali dari angka ekspor kayu dari Indonesia. Seperti fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari angka-angka resmi tersebut.

Dengan kondisi seperti ini, tidaklah mengherankan apabila isu illegal logging mendapat perhatian utama dari berbagai kalangan. Masalahnya adalah, terdapat perbedaan mendasar dari masing-masing organisasi/institusi tersebut dalam memandang illegal logging. Musti diakui bahwa isu illegal logging adalah isu yang paling ramah dan tidak memiliki dimensi politis sama sekali. Isu illegal logging lebih merupakan dimensi teknis. Berkaitan dengan hukum positif yang berkenaan dengan cara–cara penebangan. Dengan isu ini pula pemerintah dapat dengan nyaman bertemu muka dengan NGO. Jauh berbeda apabila isunya berkaitan dengan masalah tenurial, hak-hak sosial budaya maupun hak asasi manusia.

Dampak pembalakan liar

Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pembalakan_liar
http://hijauindonesia.org/the-institute/institute-artikel/52-deforestasi-dan-illegal-logging.html
http://www.borneophotography.org/wp-content/uploads/galeri/gallery-bang-zul/illegal-logging.jpg

No comments:

Post a Comment